Kamis, 21 November 2013

TAFSIR IMMAH


PENDAHULUAN

       Al Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam yang di dalamnya memuat nilai-nilai universal kemanusiaan. Al Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat hingga akhir jaman. Untuk mendapatkan petunjuk itu manusia harus membaca, mengkaji, kemudian mengamalkan apa yang ada dalam al Qur’an tersebut. Sejalan dengan perkembangan jaman dengan segala macam permasalahan al Qur’an dan ilmu pengetahuan, maka semakin berkembang pula penafsiran-penafsiran terhadap al Qur’an sebagai usaha mewujudkan kemaslahatan bersama.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, tentu masing-masing mufasir memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam makalah ini penulis berusaha menjelaskan tentang biografi singkat, hasil karya, metode penafsiran yang beliau pakai yang konon adalah warisan dari suaminya yaitu Amin al Khulli, serta beberapa contoh ayat dalam pemikiran Bint asy Syathi’.[1]

PEMBAHASAN
A. Biografi Bint asy Syathi’     
       Nama asli Bint asy Syathi’ adalah Prof. Dr. ‘Aisyah Abdurrahman. Nama Bint asy Syathi’ merupakan nama yang dia pakai saat menulis karena dilahirkan dan dibesarkan di tepian sungai Nil. Bint asy Syathi’ memiliki arti anak perempuan pinggir (sungai). Beliau lahir di Dumyat. Bint asy Syathi’ dibesarkan di tengah keluarga yang taat dan shalih.
Kesibukannya dalam dunia tulis menulis bukanlah merupakan penghambat proses studinya. Tahun 1936, ia menyelesaikan studi S1 di Universitas Cairo Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab. Kemudian merampungkan program magister di universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941 dengan judul tesis al Hayât al Insâniyyah ‘Inda Abi ‘Ala’. Suaminya Amin A. Khuli merupakan pakar ilmu tafsir selain membimbing dalam keluarga, iapun juga banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Bintu Syati’. Hal ini terlihat dari corak beberapa pemaparan yang disampaikan Bintu Syati’. Tahun 1950 iapun merampungkan studi doktoralnya dengan DR. Thaha Husein sebagai dosen penguji. Dengan judul disertasi Risâlatul Ghufran Li Abil ‘Ala’, Bintu Syati’ meraih predikat cumlaude.
Ilmu-ilmu yang telah diserap di bangku kuliah, kemudian ia sampaikan di beberapa universitas. Selama puluhan tahun Bintu Syati’ abdikan dirinya dalam bidang pendidikan dan studi Al Qur’an.Diantara universitas yang pernah ia ampu; Universitas Qarawiyyin Maroko, Universitas Cairo Mesir, Universitas ‘Ain Syams Mesir, Universitas Umm
Di tahun 60-an, beliau sering memberi kuliah di hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, Baghdad, Khartoum, New Delhi, Rabat, dan beberapa daerah lain. Pada tahun 1970-an, baliau adalah professor sastra dan bahasa arab di Universitas ‘Ayn Syam, Mesir. Selain itu , beliau juga mengajar di Universitas Umm Durham Sudan, Universitas  Qarawiyyin,Maroko   
Karya-karyanya yang dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu al ‘Ala’ al Ma’ari, al Khansa’, juga biografi ibunda Rasulullah saw, istri-istri beliau, anak-anak perempuannya, serta cucu dan buyut perempuannya. Karya tafsirnya, Al Tafsir al Bayani li al Qur’an al Karim vol. 1 (1962) kemudian dicetak ulang pada tahun 1966 dan 1968. edisi bajakannya terbit di Beirut. Vol II kitab tafsirnya terbit pada tahun 1969 dan mendapat sambutan luar biasa. Metode kajian tafsir Bintusy Syathi’ memberi pengaruh pada banyak orang. Metodenya itu dia peroleh dari gurunya di Universitas Fuad I yang kemudian menjadi suaminya, yaitu Amin al Khulli (wafat pada tahun 1966).[2]
B.     Karya-karyanya       
Beberapa hasil karya yakni buku-buku yang telah dipublikasikan ada 18 buku. Sedangkan karyanya yang berhubungan dengan kajian-kajian al Qur’an ada 7 kitab, antara       lain:
1. Al Tafsir Al Bayaniy liy al Qur’an al Karim vol.    1
2. Al Tafsir Al Bayaniy liy al Qur’an al Karim vol.    2
3. Kitabuna al Akbar
4. Maqal fiy al Insan, Dirasah Qur’aniyyah   
5. Al Qur’an wa al Tafsir al    ‘Asriy
6. Al I’jaz al Bayaniy liy al     Qur’an
7. Al Syakhshiyyah al Islamiyyah, Dirasah Qur’aniyyah
Karakteristiknya
Didalam tafsir Bintusy Syati’ memusatkan perhatian pada kesusastraan Arab. Dalam pendahuluannya ia mengemukakan bahwa ia menempuh metode ini untk memecahkan berbagai persoalan kehidupan dunia, sastra dan bahasa. Dikatakannya pula bahwa ia pernah meyampaikan kajian terhadap masalah tersebut diberbagai kongres nasional. Pembahasan yang disampaikannya dalam bagian studi islam adalah musyhilatut taraduf al-Lughawi fi dau’it tafsiril bayani lil Quranil Qarim. Ia mengatakan “ dalam pembahasan tersebut dijelaskan bagaimana hasil penelitian cermat terhadap kamus lafaz-lafaz quran dan dalalah di dalam konteksnya. Hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa quran menggunakan sebuah lafaz dengan dalalah tertentu yang tidak mungkin dapat diganti dengan lafaz lain yang mempunyai makna sama. Seperti yang diterangkan oleh kamus bahasa dan kitab tafsir, baik jumlah lafaz yang dikatakan sebagai sinonim itu sedikit maupun banyak. [3] 
Bintusy syati’ mencela kesibukan mempelajari sastra dengan metode mualaqat polemic, keroyalan, khamariyat dan hamasiyat fanatisme tanpa merujuk pada quran. Dia berkata kita di universitas meninggalkan hazanah yang sangat bernilai (Quran) ini untuk pengkajian tafsir[4]
B. Metode Penafsiran   
Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bintusy Syathi’ dengan mufasir lain adalah bahwa dia lebih menonjolkan dari segi sastra. Pendekatan yang baliau pakai adalah dengan metode semantik           
Metode penafsiran yang digunakan Bintusy Syathi’ dalam menafsirkan ayat al Qur’an yaitu: metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada didekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan penggunaanya dalam beberapa ayat al Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa saja yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan. Selain itu, Bintusy Syathi’ berkeyakinan bahwa kata-kata dalam bahasa arab al Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya memiliki satu makna. Apabila orang mencoba untuk menggantikan dengan kata lain maka al Qur’an akan kehilangan ketepatan dan keindahannya.
Bintusy Syathi’ juga membicarakan perihal asbabun nuzul. Menurutnya, ketentuan suatu masalah atau teks bukan karena asbabun nuzul. Sekalipun suatu ayat tidak ada asbabun nuzulnya, ayat tersebut tetap akan turun. Jika suatu ayat ada asbabun nuzulnya, itu hanya kebetulan saja ayat tersebut turun bersamaan dengan suatu kejadian yang terjadi di Arab. Pernyataan Bintusy Syathi’ ini terbukti bahwasaanya tidak semua ayat al Qur’an itu memiliki asbabun nuzul. Beliau menolak untuk menganggap setiap peristiwa dalam asbabun nuzul tersebut sebagai sebab atau bahkan tujuan turunnya wahyu, tapi sekadar kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut 
Usahanya menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing terhadap pemahaman ayat al Qur’an, beliau menolak terlibat pada pembahasan-pembahasan mendetail mengenai materi-materi yang berhubungan dengan kitab injil dan rekaman-rekaman Arab dan non Arab yang bersifat mistik atau historis, jika di dalam al Qur’an terdapat rujukan tersebut.
Bintusy Syathi’ juga mengajukan satu masalah yang penting sehubungan dengan sejauh mana orang dapat membuat tafsir. Ia sendiri berpandangan bahwa semua orang berhak memahami al Qur’an sesuai dengan kemampuan mental dam pengetahuan yang dimilikinya. Tetapi menerbitkan karya tafsir ke khalayak umum, hanya pada spesialis di bidang tafsirlah yang mempunyai hak untuk melakukannya. Seorang mufasir dituntut berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu bahasa arab, seperti tata bahasa, gaya bahasa serta ilmu-ilmu al Qur’an. Ia juga harus berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu hadis, teologi, hukum, ilmu-ilmu tentang bid’ah dan sejarah Islam.
Tafsir Bayani ini dengan lengkap memuat seluruh pemikiran serta pemahaman Syati’ dalam ilmu Qur’an. Beberapa konsep tentang terma ilmu Qur’an beliau paparkan dengan sistematis. Tak ayal jika kitab tafsir ini kemudian diterjemahkan ke beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Beliau belum secara lengkap menafsirkan seluruh surat yang ada didalam Al Qur’an, melainkan hanya 14 surat, yaitu; Surat At Takatsur, Balad, Nazi’at, ‘Adiyat, Al Zalzalah, As Syarkh (Insyirah), Dhuha, Al Ma’un, Humazah, Fajr, Lail, ‘Asr, Al Alaq, Qalam.
Dalam menganalisa teks Al Qur’an, Bintu Syati’ banyak dipengaruhi metodologi yang disampaikan sang suami, Amin Khuly. Metode yang diterapkan dalam tafsirnya berbasis pada analisa teks sebagaimana berikut;
1. Memperlakukan apa yang ingin dipahami dalam Al Qur’an seara Objektif, hal ini dengan mengumpulkan seluruh surat dan ayat yang akan dipelajari. Dalam muqaddimah tafsir beliau mengungkapkan tentang metode tanâwul maudhu’i (tematis) sebagai pisau analisanya.
2. Untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat disekitas gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul). Kemudian sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan. Menurut kaidah ushululiyyah; “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.
3. Untuk memahami dilalah alfadhz yang disampaikan Al Qur’an, maka diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistis asli.
4. Dalam pemahaman pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada harus dipelajari kemungkinan maksudnya dengan mengkomparasikan dengan pendapat para ulama

C. Aplikasi dalam Penafsiran  
       Berikut beberapa penafsiran ayat dari Bintusy Syathi dalam kitab Tafsir Bintusy Syathi’. Tafsir surat an Nazi’at ayat 1-4 sebagai berikut:
yang artinya: Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan dunia.
Surat ini termasuk surat Makkiyah dan ke delapan puluh satu menurut tartib nuzul, serta turun sesudah surat an Naba’. Surat ini dimulai dengan wawu qasam yang diikuti dengan lima sifat berturut-turut dalam lima ayat. Dihilangkannya maushuf didalamnya dan digantikannya dengan sifat, telah memperluas perkiraan-perkiraan oleh para mufasir. Perselisihan pendapat memanjang terutama tentang pengertian an Nazi’at karena kata tersebut ada di awal surat. Kemudian setiap pendapat menentukan pengarahan ayat-ayat sesudahnya, dengan keinginan dalam keadaan bagaimanapun untuk menjelaskan keagungan an Nazi’at karena datang sesudah wawu qasam. Diantara pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para mufasir, pendapat yang paling masyhur adalah malaikat-malaikat yang mencabut nyawa anak Adam. Itu merupakan salah satu dari tiga pendapat yang dipilih Al Zamakhsyari. Dua pendapat lainnya adalah bintang-bintang dan kuda-kuda para penakluk. Sedangkan Ar Raghib menafsirkannya sebagai malaikat-malaikat atau angin. Dengan menelaah surat-surat yang dibuka dengan wawu qasam, tampaklah bagi kita bahwa al Qur’an lebih banyak menggunakan ungkapan-ungkapan material dan terindra serta realistis, bahkan dapat dilihat. Hal itu tampak dalam beberapa ayat berikut:dan beberapa ayat al Qur’an yang lain dengan wawu qasam yang mendahului sesuatu yang terindra. Semua ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat makiyyah. Di hadapkan pada masalah bahwa wawu qasam yang mendahului kepada sesuatu yang bersifat materi dan dapat dijangkau, Bintusy Syathi’ tidak puas dengan penafsiran an Nazi’at dengan pendapat kebanyakan para mufasir yaitu bahwa an Nazi’at adalah malaikat-malaikat yang mencabut ruh. Sebab malaikat dalam kawasan mencabut nyawa tersebut tidak termasuk ke dalam kawasan indrawi yang terjangkau. Bintusy Syathi’ lebih puas menafsirkan an Nazi’at dengan kuda yang menyerang, tanpa membatasinya dengan kuda para penakluk. Dengan menafsirkan an Nazi’at sebagai kuda, maka yang demikian akan mengarahkan ayat-ayat sesudahnya dengan mudah. Misalnya kuda-kuda itu lepas dalam berlari dan tenggelam. Dengan alasan yang sama, al sabh yang subjeknya al sabih menghimpun kekuatan. Dengan lari yang kencang inilah kuda-kuda sampai ke tujuan, lalu diatur segala urusan dan permasalahan dengan sebaik-baiknya           
Penafsiran sejenak kembali pada arti kata an naz’ secara linguistik, yang berarti menarik, menyeret, dan mencabut. Darinya muncul kata al munaza’ah yang berarti tarik menarik dalam permusuhan. Kata ini digunakan dalam al Qur’an untuk menunjukkan kuatnya tarikan dan kekerasan, sehingga menjadi kukuh dan mantap. Beberapa ayat yang menunjukkan makna tersebut antara lain: surat al A’raf ayat 27, surat al A’raf ayat 108, surat asy Syu’ara ayat 33, surat Hud ayat 9, surat Ali Imran ayat 26, dan surat al Qamar ayat 20. dan sifat neraka jahannam adalah nazza’atan lisysyawa (mengelupas kulit kepala) seperti dalam surat al Ma’arij ayat 16.
Al Gharqa menurut asalnya adalah masuk ke dalam air dan ia digunakan secara majaz dalam memasukkan bencana dan nikmat. Di dalam al Qur’an, kata gharq (tenggelam) disamping termuat dalam surat an Nazi’at datang sebanyak 22 kali dalam berbagai bentuk baik subjek, objek maupun predikat dan secara linguistik bermakna yang pertama. Az Zamakhsyari menafsirkan gharqa dalam surat an Nazi’at sebagai kuda yang lari kencang sehingga kendali masuk ke dalamnya karena panjang lehernya. Sedangakan Bintusy Syathi’ mengartikannya dengan kuda yang berlari kencang karena kuat dan gagah serta kuat kendalinya            
Materi nun syin tha’ pada ayat 2 tidak termuat dalan al Qur’an kecuali pada surat an Nazi’at ini. Nasyith secara bahasa digunakan pada asalnya untuk ikatan yang mudah dilepaskan. Maka nasyitha berarti lepas dengan mudah. Bintu Syathi’ menambahkan bahwa apa mengikatnya dengan asal bahasanya yaitu lepas dari ikatan.
Pada ayat ke tiga, as Sabh adalah berenang, atau berjalan cepat dalam air atau di udara. Tetapi ia digunakan dalam bahasa kuda-kuda sehingga dikatakanlah kuda itu as sawabih. Kuda berenang dalam air itu bukan pada tempatnya. Yang demikian menuntut terhimpunnya kekuatan dan kerasnya penderitaan yang sesuai dengan lari yang sangat kencang          
Kemudian pada ayat selanjutnya, as sabq adalah maju yang di dalamnya tersirat kecepatan dan perlombaan. Penggunaannya untuk kuda adalah jelas. As Sabq di sini adalah pengaruh kekuatan yang dihimpun oleh kuda saat berlari kencang dan berenang dengan tangkas          
Selanjutnya pada ayat ke lima, dapat diamati dari kata tadbir di dalam al Qur’an bahwa kata kerja tersebut datang dalam bentuk sekarang dan disandarkan kepada Allah swt. Apabila memahami an Nazi’at dalam larinya yang cepat dan berpacunya yang kencang, maka tadbir adalah puncak dari himpunan kekuatan yang dikehendaki, yaitu urusan penaklukan dan penentuan.
KESIMPULAN
Bintusy Syathi’ adalah mufasir era kontemporer dengan keahliannya dalam bidang sastra, maka beliau mengangkat penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menonjolkan segi semantik. Metode yang digunakan adalah dengan munasabah dan tidak terlalu berkutat pada asbabun nuzul suatu ayat. Beliau berusaha seobyektif mungkin membiarkan teks al Qur’an berbicara dengan sendirinya.

Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd
Syamsuddin         Arif
Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman         
Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang    sihir.

Beberapa waktu lalu, sebuah workshop bertemakan ''Kritik Wacana Agama'' digelar di Jakarta. Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. Tulisan ini bermaksud mengkritisi sosok tokoh yang sedang tenar di Indonesia ini. Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang 'kabur' ke Belanda dan kini mengajar di Universitas Leiden itu, pertama kali saya dengar dari Profesor Arif Nayed, seorang pakar hermeneutika yang pernah menjadi guru besar tamu di ISTAC, Malaysia, sekitar tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya saya ikuti dari liputan media dan laporan jurnal.

Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat.

Promosi guru besar


Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989).

Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1) Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu'tazilah (al-Ittijah al-'Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz 'inda al-Mu'tazilah, Beirut 1982); (2) Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn 'Arabi' (Falsafat at-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Qur'an 'inda Muhyiddin ibn 'Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Kairo, 1987); (4) Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aliyyat at-Ta'wil, Kairo, 1992); (5) Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam Syafi'i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi'i wa Ta'sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang      

Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes. Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Mesjid 'Amru bin 'Ash, menyatakan Abu Zayd murtad. Pernyataan Ustadz Syahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh     

Harian al-Liwa' al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding.

Ulama al-azhar


Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau -- kalau yang bersangkutan tidak mau -- ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut :       

Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Quran seperti 'arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka. Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz. Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran adalah karangan beliau.

Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah "tradisi reaksioner" serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam. Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia. Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy      

Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW. Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas "teks-teks agama". Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan
Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung. The Middle East Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dicabut lagi.
                    
Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan "the Freedom of Worship Medal" kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang dinilai 'berani' dan 'bebas' (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar. Prof Dr M Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam). Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya tidak valid secara akademis. Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma', bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat Ulama Al-azhar

Dalam otobiografinya yang baru diterbitkan, Voice of an Exile: Reflections on Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger, 2004), Abu Zayd 'blak-blakan' mengungkapkan latar belakang dan sumber inspirasinya. Berikut ini cuplikannya.

Usai bermukim di AS


Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika ternyata membuahkan hasil. Di sanalah ia mengenal dan mempelajari filsafat dan hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka matanya: "My academic experience in the [United] States turned out to be quite fruitful. I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me" (hlm. 95).

Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah Bibel, mengapa tidak kita gunakan untuk mengupas al-Quran. Toh keduanya sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd
Para sarjana Barat (Yahudi maupun Kristen) sejak lama telah menerapkan metode-metode kritis dalam mengkaji Bibel, seperti metode textual criticism, source criticism, form criticism, dan sebagainya. Sebagaimana Bibel, al-Quran juga dinilai sebagai produk budaya setempat yang tidak terlepas dari konteks masyarakat, sejarah, dan zaman di mana ia lahir dan berkembang. Di situ tentu ada campur-tangan manusia. Berkata Abu Zayd: "Classical Islamic thought believes the Qur'an existed before it was revealed. I argue that the Qur'an is a cultural product that takes its shape from a particular time in history. The historicity of the Qur'an implies that the text is human. Because the text is grounded in history, I can interpret and understand that text. We should not be afraid to apply all the tools at our disposal in order to get at the meaning of the text"    (hlm.99).

Dengan menganggap al-Quran sama dengan Bibel, Abu Zayd lantas menurunkan status al-Quran -- bukna lagi Kalamullah. Baginya, al-Quran adalah sebuah teks, tidak lebih dari itu. Statusnya, menurut Abu Zayd, sama dengan buku-buku lainnya, yang dikarang oleh manusia, terbentuk dalam konteks budaya dan sejarah, dan sebagai wacana, tidak memiliki makna yang tetap dan baku: "The divine text became a human text at the moment it was revealed to Muhammad. How else could human beings understand it? Once it is in human form, a text becomes governed by the principles of mutability or change. The text becomes a book like any other. Religious texts are essentially linguistic texts. They belong to a specific culture and are produced within that historical setting. The Qur'an is a historical discourse-it has no fixed, intrinsic meaning" (hlm. 97). Pendapat-pendapatnya mengenai hermeneutika, tekstualitas, dan historisitas al-Quran ini diakuinya adalah 'oleh-oleh' hasil mukimnya di Amerika: "I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States" (hlm. 101).



[1]. ushuluddins.multiply.com/journal/item/4


[3]. Manna al- Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, hal: 515
[4] Ibid, 515

Tidak ada komentar:

Posting Komentar