PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan sumber utama
ajaran Islam yang di dalamnya memuat nilai-nilai universal kemanusiaan. Al
Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat hingga akhir jaman.
Untuk mendapatkan petunjuk itu manusia harus membaca, mengkaji, kemudian
mengamalkan apa yang ada dalam al Qur’an tersebut. Sejalan dengan perkembangan
jaman dengan segala macam permasalahan al Qur’an dan ilmu pengetahuan, maka
semakin berkembang pula penafsiran-penafsiran terhadap al Qur’an sebagai usaha
mewujudkan kemaslahatan bersama.
Dalam
menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, tentu masing-masing mufasir memiliki
karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam makalah ini penulis
berusaha menjelaskan tentang biografi singkat, hasil karya, metode penafsiran
yang beliau pakai yang konon adalah warisan dari suaminya yaitu Amin al Khulli,
serta beberapa contoh ayat dalam pemikiran Bint asy Syathi’.
PEMBAHASAN
A. Biografi Bint asy Syathi’
Nama asli Bint asy Syathi’ adalah Prof.
Dr. ‘Aisyah Abdurrahman. Nama Bint asy Syathi’ merupakan nama yang dia pakai
saat menulis karena dilahirkan dan dibesarkan di tepian sungai Nil. Bint asy
Syathi’ memiliki arti anak perempuan pinggir (sungai). Beliau lahir di Dumyat.
Bint asy Syathi’ dibesarkan di tengah keluarga yang taat dan shalih.
Kesibukannya dalam dunia tulis menulis
bukanlah merupakan penghambat proses studinya. Tahun 1936, ia menyelesaikan studi S1 di Universitas Cairo Fakultas Adab
Jurusan Sastra Arab. Kemudian merampungkan program magister di universitas dan
jurusan yang sama pada tahun 1941 dengan judul tesis al Hayât al Insâniyyah
‘Inda Abi ‘Ala’. Suaminya Amin A. Khuli merupakan pakar ilmu tafsir selain
membimbing dalam keluarga, iapun juga banyak memberikan pengaruh terhadap
pemikiran Bintu Syati’. Hal ini terlihat dari corak beberapa pemaparan yang
disampaikan Bintu Syati’. Tahun 1950 iapun merampungkan studi doktoralnya
dengan DR. Thaha Husein sebagai dosen penguji. Dengan judul disertasi Risâlatul
Ghufran Li Abil ‘Ala’, Bintu Syati’ meraih predikat cumlaude.
Ilmu-ilmu yang telah diserap di bangku
kuliah, kemudian ia sampaikan di beberapa universitas. Selama puluhan tahun
Bintu Syati’ abdikan dirinya dalam bidang pendidikan dan studi Al
Qur’an.Diantara universitas yang pernah ia ampu; Universitas Qarawiyyin Maroko,
Universitas Cairo Mesir, Universitas ‘Ain Syams Mesir, Universitas Umm
Di tahun
60-an, beliau sering memberi kuliah di hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, Baghdad, Khartoum, New Delhi, Rabat, dan beberapa daerah lain. Pada tahun
1970-an, baliau adalah professor sastra dan bahasa arab di Universitas ‘Ayn
Syam, Mesir. Selain itu , beliau juga mengajar di Universitas Umm Durham Sudan,
Universitas Qarawiyyin,Maroko
Karya-karyanya yang dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu al ‘Ala’ al
Ma’ari, al Khansa’, juga biografi ibunda Rasulullah saw, istri-istri beliau,
anak-anak perempuannya, serta cucu dan buyut perempuannya. Karya tafsirnya, Al
Tafsir al Bayani li al Qur’an al Karim vol. 1 (1962) kemudian dicetak ulang
pada tahun 1966 dan 1968. edisi bajakannya terbit di Beirut. Vol II kitab tafsirnya terbit pada
tahun 1969 dan mendapat sambutan luar biasa. Metode kajian tafsir Bintusy
Syathi’ memberi pengaruh pada banyak orang. Metodenya itu dia peroleh dari
gurunya di Universitas Fuad I yang kemudian menjadi suaminya, yaitu Amin al
Khulli (wafat pada tahun 1966).
B. Karya-karyanya
Beberapa hasil karya yakni
buku-buku yang telah dipublikasikan ada 18 buku. Sedangkan karyanya yang
berhubungan dengan kajian-kajian al Qur’an ada 7 kitab, antara lain:
1. Al Tafsir Al Bayaniy liy al Qur’an al Karim vol. 1
2. Al Tafsir Al Bayaniy liy al Qur’an al Karim vol. 2
3. Kitabuna al Akbar
4. Maqal fiy al Insan, Dirasah Qur’aniyyah
5. Al Qur’an wa al Tafsir al ‘Asriy
6. Al I’jaz al Bayaniy liy al Qur’an
7. Al Syakhshiyyah al Islamiyyah, Dirasah Qur’aniyyah
Karakteristiknya
Didalam
tafsir Bintusy Syati’ memusatkan perhatian pada kesusastraan Arab. Dalam
pendahuluannya ia mengemukakan bahwa ia menempuh metode ini untk memecahkan
berbagai persoalan kehidupan dunia, sastra dan bahasa. Dikatakannya pula bahwa
ia pernah meyampaikan kajian terhadap masalah tersebut diberbagai kongres
nasional. Pembahasan yang disampaikannya dalam bagian studi islam adalah
musyhilatut taraduf al-Lughawi fi dau’it tafsiril bayani lil Quranil Qarim. Ia
mengatakan “ dalam pembahasan tersebut dijelaskan bagaimana hasil penelitian
cermat terhadap kamus lafaz-lafaz quran dan dalalah di dalam konteksnya. Hasil
penelitian itu mengungkapkan bahwa quran menggunakan sebuah lafaz dengan
dalalah tertentu yang tidak mungkin dapat diganti dengan lafaz lain yang
mempunyai makna sama. Seperti yang diterangkan oleh kamus bahasa dan kitab
tafsir, baik jumlah lafaz yang dikatakan sebagai sinonim itu sedikit maupun
banyak.
Bintusy
syati’ mencela kesibukan mempelajari sastra dengan metode mualaqat polemic,
keroyalan, khamariyat dan hamasiyat fanatisme tanpa merujuk pada quran. Dia berkata
kita di universitas meninggalkan hazanah yang sangat bernilai (Quran) ini untuk
pengkajian tafsir
B. Metode Penafsiran
Karakteristik
khusus yang membedakan cara pandang Bintusy Syathi’ dengan mufasir lain adalah
bahwa dia lebih menonjolkan dari segi sastra. Pendekatan yang baliau pakai
adalah dengan metode semantik
Metode penafsiran yang digunakan Bintusy Syathi’ dalam menafsirkan ayat al
Qur’an yaitu: metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode
mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada didekatnya dan bahkan ayat
yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan
penggunaanya dalam beberapa ayat al Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa saja
yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan. Selain
itu, Bintusy Syathi’ berkeyakinan bahwa kata-kata dalam bahasa arab al Qur’an
tidak ada sinonim. Satu kata hanya memiliki satu makna. Apabila orang mencoba
untuk menggantikan dengan kata lain maka al Qur’an akan kehilangan ketepatan
dan keindahannya.
Bintusy Syathi’ juga membicarakan perihal asbabun nuzul. Menurutnya, ketentuan
suatu masalah atau teks bukan karena asbabun nuzul. Sekalipun suatu ayat tidak
ada asbabun nuzulnya, ayat tersebut tetap akan turun. Jika suatu ayat ada asbabun
nuzulnya, itu hanya kebetulan saja ayat tersebut turun bersamaan dengan suatu
kejadian yang terjadi di Arab. Pernyataan Bintusy Syathi’ ini terbukti
bahwasaanya tidak semua ayat al Qur’an itu memiliki asbabun nuzul. Beliau
menolak untuk menganggap setiap peristiwa dalam asbabun nuzul tersebut sebagai
sebab atau bahkan tujuan turunnya wahyu, tapi sekadar kondisi-kondisi eksternal
dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna
dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut
Usahanya menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing terhadap pemahaman ayat al
Qur’an, beliau menolak terlibat pada pembahasan-pembahasan mendetail mengenai
materi-materi yang berhubungan dengan kitab injil dan rekaman-rekaman Arab dan
non Arab yang bersifat mistik atau historis, jika di dalam al Qur’an terdapat
rujukan tersebut.
Bintusy Syathi’ juga mengajukan satu masalah yang penting sehubungan dengan
sejauh mana orang dapat membuat tafsir. Ia sendiri berpandangan bahwa semua
orang berhak memahami al Qur’an sesuai dengan kemampuan mental dam pengetahuan
yang dimilikinya. Tetapi menerbitkan karya tafsir ke khalayak umum, hanya pada
spesialis di bidang tafsirlah yang mempunyai hak untuk melakukannya. Seorang
mufasir dituntut berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu bahasa arab, seperti tata
bahasa, gaya
bahasa serta ilmu-ilmu al Qur’an. Ia juga harus berpengetahuan luas dalam
ilmu-ilmu hadis, teologi, hukum, ilmu-ilmu tentang bid’ah dan sejarah Islam.
Tafsir Bayani ini dengan lengkap memuat seluruh
pemikiran serta pemahaman Syati’ dalam ilmu Qur’an. Beberapa konsep tentang
terma ilmu Qur’an beliau paparkan dengan sistematis. Tak ayal jika kitab tafsir
ini kemudian diterjemahkan ke beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Beliau belum secara lengkap menafsirkan seluruh
surat yang ada didalam Al Qur’an, melainkan hanya 14 surat, yaitu; Surat At
Takatsur, Balad, Nazi’at, ‘Adiyat, Al Zalzalah, As Syarkh (Insyirah), Dhuha, Al
Ma’un, Humazah, Fajr, Lail, ‘Asr, Al Alaq, Qalam.
Dalam menganalisa teks Al Qur’an, Bintu Syati’
banyak dipengaruhi metodologi yang disampaikan sang suami, Amin Khuly. Metode
yang diterapkan dalam tafsirnya berbasis pada analisa teks sebagaimana berikut;
1. Memperlakukan
apa yang ingin dipahami dalam Al Qur’an seara Objektif, hal ini dengan
mengumpulkan seluruh surat dan ayat yang akan dipelajari. Dalam muqaddimah
tafsir beliau mengungkapkan tentang metode tanâwul maudhu’i (tematis)
sebagai pisau analisanya.
2. Untuk memahami
konteks pewahyuan, maka ayat-ayat disekitas gagasan tersebut harus disesuaikan
dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul). Kemudian sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat
mutlak pewahyuan. Menurut kaidah ushululiyyah; “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi
la bikhususi sabab”.
3. Untuk memahami
dilalah alfadhz yang disampaikan Al Qur’an, maka diperlukan pemahaman yang
mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistis asli.
4. Dalam pemahaman
pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada harus dipelajari kemungkinan
maksudnya dengan mengkomparasikan dengan pendapat para ulama
C. Aplikasi dalam Penafsiran
Berikut beberapa penafsiran ayat
dari Bintusy Syathi dalam kitab Tafsir Bintusy Syathi’. Tafsir surat an Nazi’at ayat 1-4 sebagai berikut:
yang artinya: Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut, dan
(malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan
(malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat)
yang mengatur urusan dunia.
Surat ini
termasuk surat
Makkiyah dan ke delapan puluh satu menurut tartib nuzul, serta turun sesudah surat an Naba’. Surat ini dimulai dengan
wawu qasam yang diikuti dengan lima
sifat berturut-turut dalam lima
ayat. Dihilangkannya maushuf didalamnya dan digantikannya dengan sifat, telah
memperluas perkiraan-perkiraan oleh para mufasir. Perselisihan pendapat
memanjang terutama tentang pengertian an Nazi’at karena kata tersebut ada di
awal surat.
Kemudian setiap pendapat menentukan pengarahan ayat-ayat sesudahnya, dengan
keinginan dalam keadaan bagaimanapun untuk menjelaskan keagungan an Nazi’at
karena datang sesudah wawu qasam. Diantara pendapat-pendapat yang dikeluarkan
oleh para mufasir, pendapat yang paling masyhur adalah malaikat-malaikat yang
mencabut nyawa anak Adam. Itu merupakan salah satu dari tiga pendapat yang
dipilih Al Zamakhsyari. Dua pendapat lainnya adalah bintang-bintang dan
kuda-kuda para penakluk. Sedangkan Ar Raghib menafsirkannya sebagai
malaikat-malaikat atau angin. Dengan menelaah surat-surat yang dibuka dengan
wawu qasam, tampaklah bagi kita bahwa al Qur’an lebih banyak menggunakan
ungkapan-ungkapan material dan terindra serta realistis, bahkan dapat dilihat.
Hal itu tampak dalam beberapa ayat berikut:dan beberapa ayat al Qur’an yang
lain dengan wawu qasam yang mendahului sesuatu yang terindra. Semua ayat-ayat
tersebut adalah ayat-ayat makiyyah. Di hadapkan pada masalah bahwa wawu qasam
yang mendahului kepada sesuatu yang bersifat materi dan dapat dijangkau,
Bintusy Syathi’ tidak puas dengan penafsiran an Nazi’at dengan pendapat
kebanyakan para mufasir yaitu bahwa an Nazi’at adalah malaikat-malaikat yang
mencabut ruh. Sebab malaikat dalam kawasan mencabut nyawa tersebut tidak
termasuk ke dalam kawasan indrawi yang terjangkau. Bintusy Syathi’ lebih puas
menafsirkan an Nazi’at dengan kuda yang menyerang, tanpa membatasinya dengan
kuda para penakluk. Dengan menafsirkan an Nazi’at sebagai kuda, maka yang
demikian akan mengarahkan ayat-ayat sesudahnya dengan mudah. Misalnya kuda-kuda
itu lepas dalam berlari dan tenggelam. Dengan alasan yang sama, al sabh yang
subjeknya al sabih menghimpun kekuatan. Dengan lari yang kencang inilah
kuda-kuda sampai ke tujuan, lalu diatur segala urusan dan permasalahan dengan
sebaik-baiknya
Penafsiran
sejenak kembali pada arti kata an naz’ secara linguistik, yang berarti menarik,
menyeret, dan mencabut. Darinya muncul kata al munaza’ah yang berarti tarik
menarik dalam permusuhan. Kata ini digunakan dalam al Qur’an untuk menunjukkan
kuatnya tarikan dan kekerasan, sehingga menjadi kukuh dan mantap. Beberapa ayat
yang menunjukkan makna tersebut antara lain: surat al A’raf ayat 27, surat al A’raf ayat 108, surat asy Syu’ara ayat 33, surat Hud ayat 9, surat Ali Imran ayat 26, dan surat al Qamar ayat 20. dan sifat neraka
jahannam adalah nazza’atan lisysyawa (mengelupas kulit kepala) seperti dalam surat al Ma’arij ayat 16.
Al Gharqa menurut asalnya adalah masuk ke dalam air dan ia digunakan secara
majaz dalam memasukkan bencana dan nikmat. Di dalam al Qur’an, kata gharq
(tenggelam) disamping termuat dalam surat an Nazi’at datang sebanyak 22 kali
dalam berbagai bentuk baik subjek, objek maupun predikat dan secara linguistik
bermakna yang pertama. Az Zamakhsyari menafsirkan gharqa dalam surat an Nazi’at sebagai kuda yang lari
kencang sehingga kendali masuk ke dalamnya karena panjang lehernya. Sedangakan
Bintusy Syathi’ mengartikannya dengan kuda yang berlari kencang karena kuat dan
gagah serta kuat kendalinya
Materi nun syin tha’ pada ayat 2 tidak termuat dalan al Qur’an kecuali pada
surat an Nazi’at ini. Nasyith secara bahasa digunakan pada asalnya untuk ikatan
yang mudah dilepaskan. Maka nasyitha berarti lepas dengan mudah. Bintu Syathi’
menambahkan bahwa apa mengikatnya dengan asal bahasanya yaitu lepas dari
ikatan.
Pada ayat ke tiga, as Sabh adalah berenang, atau berjalan cepat dalam air atau
di udara. Tetapi ia digunakan dalam bahasa kuda-kuda sehingga dikatakanlah kuda
itu as sawabih. Kuda berenang dalam air itu bukan pada tempatnya. Yang demikian
menuntut terhimpunnya kekuatan dan kerasnya penderitaan yang sesuai dengan lari
yang sangat kencang
Kemudian pada ayat selanjutnya, as sabq adalah maju yang di dalamnya tersirat
kecepatan dan perlombaan. Penggunaannya untuk kuda adalah jelas. As Sabq di
sini adalah pengaruh kekuatan yang dihimpun oleh kuda saat berlari kencang dan
berenang dengan tangkas
Selanjutnya pada ayat ke lima, dapat diamati dari kata tadbir di dalam al
Qur’an bahwa kata kerja tersebut datang dalam bentuk sekarang dan disandarkan
kepada Allah swt. Apabila memahami an Nazi’at dalam larinya yang cepat dan
berpacunya yang kencang, maka tadbir adalah puncak dari himpunan kekuatan yang
dikehendaki, yaitu urusan penaklukan dan penentuan.
KESIMPULAN
Bintusy
Syathi’ adalah mufasir era kontemporer dengan keahliannya dalam bidang sastra,
maka beliau mengangkat penafsiran ayat-ayat al Qur’an dengan menonjolkan segi
semantik. Metode yang digunakan adalah dengan munasabah dan tidak terlalu
berkutat pada asbabun nuzul suatu ayat. Beliau berusaha seobyektif mungkin
membiarkan teks al Qur’an berbicara dengan sendirinya.
Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd
Syamsuddin Arif
Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman
Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang
rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu
lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.
Beberapa waktu lalu, sebuah workshop bertemakan ''Kritik Wacana Agama''
digelar di Jakarta. Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International
Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd
sebagai pembicara utama. Tulisan ini bermaksud mengkritisi sosok tokoh yang
sedang tenar di Indonesia
ini. Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang 'kabur' ke Belanda
dan kini mengajar di Universitas Leiden itu, pertama kali saya dengar dari
Profesor Arif Nayed, seorang pakar hermeneutika yang pernah menjadi guru besar
tamu di ISTAC, Malaysia, sekitar tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya
saya ikuti dari liputan media dan laporan jurnal.
Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai
analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa
yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah
gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman
intelektual masyarakat Barat.
Promosi guru besar
Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943.
Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di
Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah
tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk
penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of
Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun
tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat
tahun (Maret 1985-Juli 1989).
Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1) Rasionalisme dalam
Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu'tazilah (al-Ittijah al-'Aqliy fi-t
Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz 'inda al-Mu'tazilah, Beirut 1982); (2)
Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn
'Arabi' (Falsafat at-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Qur'an 'inda Muhyiddin ibn
'Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh:
Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Kairo, 1987); (4) Problematika Pembacaan dan
Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aliyyat at-Ta'wil, Kairo,
1992); (5) Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam
Syafi'i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi'i wa Ta'sis
Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang
berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah
memicu kontroversi dan berbuntut panjang
Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi
guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan
ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan
kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak
layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang
dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW,
meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa
menerima dan protes. Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor Abdushshabur
Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Mesjid
'Amru bin 'Ash, menyatakan Abu Zayd murtad. Pernyataan Ustadz Syahin diikuti
oleh para khatib di masjid-masjid pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh
Harian al-Liwa' al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak
Universitas Kairo agar Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan
meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan.
Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida Abdushshamad,
memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan
mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka
dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo
mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah
al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan,
karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr
Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita
muslimah. Abu Zayd mengajukan banding.
Ulama al-azhar
Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta
pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau -- kalau yang
bersangkutan tidak mau -- ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian,
23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang pergi ke Madrid, Spanyol,
sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai
sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang
sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan
tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut
dalam al-Quran seperti 'arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah
mitos belaka. Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk
budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran
sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz. Ketiga, berpendapat
dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama
dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu
dan al-Quran adalah karangan beliau.
Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah
"tradisi reaksioner" serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah
adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam. Kelima, berpendapat dan
mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang
larut dalam mitos. Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama
Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh
umat manusia. Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada
merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy
Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW. Kesembilan,
mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas "teks-teks
agama". Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk
kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan
Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis
HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak
dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas,
bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah
dipasung. The Middle East Studies Association of North America, misalnya,
melalui Komite Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir,
Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat
dan tidak dapat dicabut lagi.
Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa.
Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya
(1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki
the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience,
kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of
Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai
Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Pihak Amerika
tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt
Institute menganugrahkan "the Freedom of Worship Medal" kepada Abu
Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang
dinilai 'berani' dan 'bebas' (courageous independence of thought) serta
sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen,
modernisme dan humanisme Eropa.
Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya
diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan,
lokakarya dan seminar digelar. Prof Dr M Amin Abdullah dari IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik
dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya
cocok untuk dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi
Agama Islam). Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air tampaknya lupa atau
sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan
tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya tidak valid secara akademis.
Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil
kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi
keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum
maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur
ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka
keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma', bukan lagi pendapat pribadi.
Dan itu diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat
Ulama Al-azhar
Dalam otobiografinya yang baru diterbitkan, Voice of an Exile: Reflections on
Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger, 2004), Abu Zayd 'blak-blakan'
mengungkapkan latar belakang dan sumber inspirasinya. Berikut ini cuplikannya.
Usai bermukim di AS
Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika ternyata membuahkan hasil.
Di sanalah ia mengenal dan mempelajari filsafat dan hermeneutika. Baginya,
hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka matanya: "My academic
experience in the [United] States turned out to be quite fruitful. I did a lot
of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics.
Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world
for me" (hlm. 95).
Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran
tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah
Bibel, mengapa tidak kita gunakan untuk mengupas al-Quran. Toh keduanya sama,
sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd
Para sarjana Barat (Yahudi maupun Kristen) sejak lama telah menerapkan
metode-metode kritis dalam mengkaji Bibel, seperti metode textual criticism,
source criticism, form criticism, dan sebagainya. Sebagaimana Bibel, al-Quran
juga dinilai sebagai produk budaya setempat yang tidak terlepas dari konteks
masyarakat, sejarah, dan zaman di mana ia lahir dan berkembang. Di situ tentu
ada campur-tangan manusia. Berkata Abu Zayd: "Classical Islamic thought
believes the Qur'an existed before it was revealed. I argue that the Qur'an is
a cultural product that takes its shape from a particular time in history. The
historicity of the Qur'an implies that the text is human. Because the text is
grounded in history, I can interpret and understand that text. We should not be
afraid to apply all the tools at our disposal in order to get at the meaning of
the text" (hlm.99).
Dengan menganggap al-Quran sama dengan Bibel, Abu Zayd lantas menurunkan status
al-Quran -- bukna lagi Kalamullah. Baginya, al-Quran adalah sebuah teks, tidak
lebih dari itu. Statusnya, menurut Abu Zayd, sama dengan buku-buku lainnya,
yang dikarang oleh manusia, terbentuk dalam konteks budaya dan sejarah, dan
sebagai wacana, tidak memiliki makna yang tetap dan baku: "The divine text became a human
text at the moment it was revealed to Muhammad. How else could human beings
understand it? Once it is in human form, a text becomes governed by the
principles of mutability or change. The text becomes a book like any other.
Religious texts are essentially linguistic texts. They belong to a specific
culture and are produced within that historical setting. The Qur'an is a
historical discourse-it has no fixed, intrinsic meaning" (hlm. 97).
Pendapat-pendapatnya mengenai hermeneutika, tekstualitas, dan historisitas
al-Quran ini diakuinya adalah 'oleh-oleh' hasil mukimnya di Amerika: "I
owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during
my brief sojourn in the United
States" (hlm. 101).
. ushuluddins.multiply.com/journal/item/4